BAB I. PENDAHULUAN
Tasawuf
itu telah ada sejak masa Rasulullulah SAW. Namun tasawuf sebagai ilmu
keislaman adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman
lainnya, seperti figih dan tauhid. Pada masa Rasulullah saw, belum dikenal
istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat Nabi SAW. Sesudah beliau wafat, pengikut yang tidak menjumpai beliau di sebut
tabi’in (generasi setelah sahabat).
Islam
sebagai agama yang sangat menekankan keseimbangan sebagaimana memanifestasikan
dirinya dalam kesatuan syariah (hukum tuhan) dan tasawuf (tariqah/ jalan
spiritual). Pentingnya menjaga kesatuan syariah dan thariqah adalah karena
dituntut oleh kenyataan bahwa segala sesuatu di alam mini mempunyai aspek
lahiriyah dan aspek bathiniyah.
Dengan
demikian, maka tasawuf di tuntut untuk lebih bersifat pragmatik, empiric dan
fungsional, artinya tasawuf di tuntut lebih menyentuh kebutuhan hidup rill
manusia modern lebih mampu memecahkan problema yang bersifat pengalaman dan
mempunyai peran rill dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian tasawuf akan
menjadi tumpuhan harapan bagi seluruh lapisan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
a.
Pengertian Tasawuf.
b.
Lahirnya Tasawuf.
c.
Ajaran Tasawuf,
d.
Hubungan Syariat, Tarekat, dan Hakikat.
BAB II. PEMBAHASAN
TASAWUF DAN TAREKAT DALAM
PERSPEKTIF ASWAJA
A. Pengertian Tasawuf
Sebutan
atau istilah Tasawuf tidak dikenal pada masa Nabi maupun khulafaur rasyidin,
karena pada masa itu para pengikut Nabi SAW diberi panggilan sahabat. panggilan
ini adalah panggilan yang palimng
berharga pada saat itu. Kemudian pada masa berikutnya, yaitu pada masa sahabat,
orang-orang muslim yang tidak berjumpa dengan beliau disebut tabi’in, dan
seterusnya disebut tabi’it tabi’in.
Tasawuf
pertama kali dilontarkan oleh Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 H) mendifisinikan tasawuf
ialah berpegang pada hal-hal yang hakiki dengan mengabaikan segala apa yang ada
pada makhluk. Menurut Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H) tasawuf adalah sifat
allah yang melekat pada hamba, yaitu dengan menguatnya kelemah lembutan dan
terpusatnya kejernihan. Sementara al-Junaidi mendefisinikan tasawuf adalah
keadaan dimana Allah memisahkan (mematikan) kamu dari dirimu dan memberimu
kehidupan dalam kematian tersebut, yaitu eksistensi dirimu dengan tanpa jarak
kepada Allah. [1]
Secara
etimologis, para ahli berselisih pendapat tentang asal kata tasawuf. Sebagian
menyatakan bahwa kata Tasawuf berasal dari Shuffah yang berarti emper masjid Nabawi
yang didiami oleh sebagian sahabat Anshar. Ada pula yang mengatakan berasal
dari Shaf yang berarti barisan. Seterusnya ada yang mengatkan berasal dari
Shafa yang berarti bersih/jernih, dan masih ada lagi yang mengatakan berasal
dari kata Shufanah yakni nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir.
Terakhir ada yang mengatakan berasal dari bahasa Yunani Theosofi yang berarti
Ilmu Ketuhanan. Namun yang terakhir ini penulis tidak setuju, penulis cenderung
pada pendapat bahwa kata Tasawuf berasal dari Shuf (bulu domba), selanjutnya
orang yang berpakaian bulu domba disebut Mutashawwif, perilakunya disebut
tasawuf. [2]
Secara
terminologis para ulama’ berbeda pendapat tentang arti asal-usul kata tasawuf,
namun yang paling tepat adalah berasal dari kata shuf (bulu domba), yanag
dimaksud bulu domba disini bukanlah dalam pengertian modern melainkan kain
kasar yang dipakai oleh miskin di Timur Tengah pada zaman dahulu, orang-orang
sufi ingin hidup sederhana dan menjauhi keduniaan, sehingga mereka hidup
sebagai orang-oran miskin dengan memakai kain kasar tersebut. Dengan pengertian
semacam ini, maka dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah bagian dari ajaran
Islam, karena ia membina akhlak manusia di atas bumi ini, agar tercapai
kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat.
B. Lahirnya Tasawuf
Para
sarjana, baik dari kalangan orientalis maupun dari kalangan islam sendiri
saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi munculnya tasawuf
dalam islam. Mengklasifikasikan pendapat para sarjana tentang faktor tasawuf
ini menjadi empat aliran. Pertama dikatakan bahwa tasawuf berasal dari India
melalui Persia. Kedua berasal dari asketisme Nasrani. Ketiga dari ajaran Islam
sendiri. Keempat berasal dari sumber yang berbeda-beda kemudian menjelma
menjadi satu konsep
Munculnya
tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III hijriyah Abu Hasyim al-Kufy (w
250 H) dengan meletakkan al-sufi di belakang namanya, sebagaimana dikatakan
oleh Nicholson bahwa sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah ada ahli yang
mendahuluinya, akan tetapi dia adalah yang pertama kali diberi nama al-sufi. [3]
Tasawuf
islam melewati beberapa fase, pertama tampil dalam bentuk ibadah dan zuhud.
Kaum tasawuf islam membutukan waktu kira-kira 2 abad dalam kondisi demikian,
kaum zuhud generasi pertama amat banyak diantaranya al-Hasan, al-Basri (110 H –
728 M) dll. Dalam rangka beribadah mereka mencari tempat yang terisolir dari
manusia dengan seperti ini, tasawuf nyaris tidak keluar dari bentuk tingkah
laku. Pada fase berikutnya kaum sufi mulai melakukan kajian teoritis, untuk itu
pertama-tama mereka berorientasi pada jiwa untuk disingkapkan
rahasia-rahasianya, dijelaskan segala kondisi dan makomny sebagai bukti mereka
membicarakan tentang keasyikan dan kerinduan, takut dan harapan, cinta dan
emosi, tiada dan ada, fana’ dan kekal, mereka mencari cinta illhi dimana saja.
Merekah memberikan pemecahan terhadap banyak masalah, buah kerja ini Nampak di
tangan. [4]
Dengan
demikian tasawuf lahir karena didorong oleh ajaran Islam sebagaimana terkandung
dalam kedua sumbernya, Al-Qur’an dan al-Sunnah, yakni kedua sumber tersebut
mendorong agar umatnya beribadah, berperilaku baik, shalat tahajjud
(al-Muzammil, ayat 7) berpuasa dan sebagainya, yang semua itu merupakan sikap
tasawuf.
C. Ajaran Tasawuf
Ada
tiga permasalahan besar yang dibicarakan oleh semua agama di dunia ini. Pertama
tentang Tuhan, kedua tentang manusia, dan ketiga tentang dunia, Masing-masing
agama mempunyai konsep atau ajaran tentang ketiga hal tersebut. Sementara
Islam, dan lebih spesifik lagi tasawuf, mempunyai konsep tersendiri tentang
tiga hal tersebut. [5]
a.
Konsep Ketuhana dalam Tasawuf
Tasawuf
sebagaimana telah dipaparkan di muka adalah ilmu yang membahas cara pendekatan
diri seseorang kepada Tuhan melalui pencucian ruh. Oeh karenanya tema ketuhanan
hampir bisa dipastikan merupakan tema sentral dalam ilmu tasawuf. Yakni
mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihatnya
dengan mata hati, bahkan ruhnya dapat bersatu dengan Tuhan.
Filsafat
yang menjadi dasar pendekatan didi kepada Tuhan dalam ilmu tasawuf, menurut
Harun Nasution (dalam Budhy Munawar-Rahman, (ED) pertama, Tuhan bersifat
ruhani, maka bagian yang mendekatkan diri kepada tuhan adalah ruh, bukan
jasadnya. Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk
mendekatinya adalah ruh yang suci. Dalam ajaran Islam Tuhan memang dekat sekali
dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia dijelaskan oleh al-Qur’an
sendiri, “jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku sangat
dekat dan akan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil.”
(QS. al-Baqarah: 186)
b. Konsep
Manusia dalam Tasawuf
Mengenai
manusi telah banyak analisa dan pemahaman tentang siapa sebenarnya dia maupun
dari mana asalnya. Konsep kejadian manusia dalam tasawuf hampir sama dengan
konsep al-Qur’an, menurut al-Hallaj bahwa manusia itu diciptakan dari dua
unsur, yakni unsur jasmaniah dan unsur
rohaniah. Unsur jasmniah terdiri dari materi, sedang unsur rohani dari Tuhan.
Karena itulah manusia mempunyai sifat kemanusiaan (nasut), dan sifat ketuhanan
(lahut), dasar al-Hallaj mengatakan demikian ialah al-Qur’an, surat al-Baqarah:
34. Karena itu persatuan antara Tuhan dengan manusia dalam bentuk hulul adalah
sangat dimungkinkan dengan syarat apabila manusia melepaskan keterikatannya
dengan materi.
Pernyataan
al-Hallaj ini mengundang kontroversi, menurut al-Ghazali pembentukan merupakan
proses yang timbul dalam materi yang membuatnya cocok untuk menerima ruh.
Materi itu adalah tanah liat Adam yang merupakan cikal bakal bagi keturunannya
yang selanjutnya, melalui beberapa proses, akhirnya menjadi manusia, ketika
bertemu unsur materi dengan ruh. [6]
Namun
pernyataan al-Hallaj itu dapat dikembalikan kepada pernyataan al-Hallaj:"Aku
adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu, Aku hanya
satu dari yang benar, maka bedakan antara kami” (Abd al-Qadir Mahmud, 1967;
Harun Nasution, 1978).
Menurut
at-Taftazani (1967), teori Hulul al-Hallaj ini bercirikan figuratif, majazi,
dan bukan hakiki. Hal ini sama dengan ungkapan al-Sulami bahwa kemanusiaan dan
ketuhanan itu terpisah. Penciptaan manusia atas copy-Nya itu merupakan wujud
atau tempat tajalli-Nya, bukan dalam arti bertemunya antara hakikat kemanusiaan
dengan Dzat Tuhan secara hakiki.
Menurut
Shal al- Tastari bahwa menurut pandangan sufi, komposisi manusia yang paling
sempurna memiliki tiga unsur yaitu ruh,
jiwa, dan badan dan masing-masing
unsur mempunyai sifat yang langgeng didalamnya. Sifat ruh adalah kecakapan
aqliyah, sifat jiwa adalah hawa nafsu, dan sifat badan ialah pengindraan. Manusia adalah suatu tipe alam semesta, alam semesta
adalah nama dua alam, dan dalam diri manusia ada tanda dari keduanya, karena ia
terdiri dari lender, darah, empedu, dan kemurungan hati, yang mana empat
suasana jiwa berkaitan dengan empat unsur dunia ini yakni air, tanah, udara,
dan api (al-hujwari, 1980).
Dalam
diri manusia terjadi tarik menarik antara unsur yang mengajak kea rah positif,
yaitu roh yang mempunyai sikap rasional, dan unsur lain berupa nafs (jiwa
rendah) yang cenderung ke hal-hal yang bersifat negatif. Posisi manusia akan ditentukan unsur mana yang
menang dalam percaturan setiap harinya. Jika sifat ruhnya yang menang, maka dia
lebih menyerupai malaikat, namun apabila yang dominan itu nafsunya maka akan
lebih menyerupai binatang. Dimensi rohani manusia mempunyai empat kekuatan
yakni qalb, ruh, nafsdan akal, keempat unsur ini ditinjau oleh al-Ghazali.
Rahani
tersebut dilengkapi dengan beberapa alat kelengkapan lahir dan batin. Yang
lahir adalah panca indra, yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi rohani,
yakni beribadah kepada Allah SWT. Sifatnya taat terhadap setiap yang
dikehendaki ruhani. Kelengkapan batin ada yang bersifat pembangkit dan
pendorong (syawat dan marah), penggerak anggota badan, serta mengenal dan
mengetahui terhadap segala sesuatu.
c. Pandangan
tentang Dunia
Pada
setiap agama pasti ada ajarn tentang dunia, yakni bagaimana agama tertentu
menilai dunia ini, masing-masing agama mempunyai penilaian berbeda-beda. Dalam agama
Wedanto, Budhisme, Jainisme menganggap bahwa ala ini adalah tidak nyata/ sebuah
permainan, dalam paham Gnotisme, Manichaenisme dunia bagaikan penjara yang
dikuasai oleh kejahatan. Bagi bangsa Yunani dunia sebagai hasil karya seni.
Pandangan umum agama Islam dan Yahudi
ialah fenomena rencana Tuhan yang indah dan sebagai tempat belajar,
tempat latihan dan untuk ibadah.
Khusus
dalam agama Islam yang disebut al- dunya ialah segala sesuatu yang ada selain
Allah SWT. Dan tasawuf sebagai bagian dari aspek ajaran Islam memandang dunia
ini sebagai hijab (penghalang) sampainya seorang hamba kepada Tuhannya. Untuk
itu dia harus menghindari dunia, yang disebut zuhud (perpaling dari Sesutu yang
rendah kepada sesuatu yang baik).
D. Hubungan Syariat, Tarikat dan
Hakikat
jalan
seorang Muslim dalam beribadah menempuh tiga jalan sekaligus, ketigahnya adalah
syariat, terikat dan hakikat. Ketiganya berbeda tapi tidak saling menafikan.
Ketiganya anak tangga yang harus dilalui tangga syariat harus dilalui dan
mengantarkan kepada tangga tarikat, dan dari tangga tarikat harus menaiki
tangga hakikat. Ketika telah sampai pada tangga hakikat tetap tidak melupakan
dua anak tangga di bawahnya. Diriwayatkan Haritsah meminta Nabi untuk mendoakan
dirinya agar mati syahid. Dan perjalanan hidupnya memang membawahnya untuk
syahid. Sejak itulah Rasullullah menggunakan istilah syariat, tarekat, hakikat,
yakni keimanan Haritsah terhadap surga dan neraka adalah syariat, zuhud dan
shalat malamnya adalah tarikat, sedangkan kesaksiannya sehingga dapat
menyaksikan para penghuni surga dan
neraka adalah hakikat. [7]
Syariat
adalah tahap pertama, tarekat adalah yang kedua, sedangkan hakikat adalah
puncaknya. Syariat adalah menyembah Allah, tarekat adalah menghadirkannya dan
hakikat menyaksikannya. Dalam sebuah riwayat, Nabi Saw juga bersabda,”syariat
adalah pembicaraanku, tarekat adalah perbuatanku, hakikat adalah keadaan
ruhaniku”. Jalaluddin rahmat menyimpulkan syariat adalah kita menjalankan agama
dengan perbuatan kita, tarikat adalah
kita menjalankan agama sebagai sifat dan keadaan kita, hakikat adalah kita
menjalankan agama secara benar dan dengan kesaksian.
BAB III. KESIMPULAN
Tasawuf
merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam, yang lahir di kemudihan hari
melalui proses yang panjang dengan dinamikanya sendiri, kelahirannya sebagai
perwujudan dari pemahaman al-Qur’an dan al-Hadist. Jalan yang ditempuh oleh
seorang sufi untuk sampai ke tingkat dapat melihat tuhan dengan mata hatinya
dan akhirnya bersatu dengan Tuhan panjang dan penuh duri, karena itu hanya
sedikit orang yang bisa sampai ke puncak tujuan tasawuf, jalan inilah yang
dalam istilah tasawuf disebut thariqah (tarekat).
Syariat,
tarekat dan hakikat itu merupakan satu kesatuan, semua ajaran islam meliputi
ketiga ketiga hal ini, jika syariat diibaratkan dengan batok kelapa, maka
tarekat adalah dagingnya, sedangkan hakikat adalah air kelapanya. Sebagaimana
batok berfungsi melindungi daging kelapa, maka syariat juga melindungi tarekat.
Dan sebagaimana daging kelapa melindungi air kelapa agar tetap bersih, bening
dan sehat, maka tarikat juga melindungi hakikat. Tanpa syariat tarekat takkan
pernah ada, rusak atau palsu, begitu juga tanpa tarikat apa yang dikira hakikat
itu mungkin hanya halusinasi yang biasa diderita oleh orang-orang gila.
[1] Drs. Nuril Huda. Aswaja Menjawab Persoalan Tradisi dan Kekinian. 2007. hal 50
[2]
Saifuddin Bahri. Metodologi Studi Islam.
2010. hal 93
[3]
Amin Syukur. Tasawuf Menggugat. 1999.
hal 19
[4]
Ibrahim Madkour. Aliran dan Teori
Filsafat Islam.1995. hal 101
[5]
Amin Syukur. Tasawuf Menggugat. 1999. hal 44
[6]
Amin Syukur. Tasawuf menggugat. 1999. hal 59
[7]
Haidar Amuli. Ibadah Sufistik. 2005
No comments:
Post a Comment