Monday, February 19, 2018

Makalah Tasawuf dan Tarikat dalam Perspektif Aswaja

BAB I. PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang 
 Tasawuf  itu telah ada sejak masa Rasulullulah SAW. Namun tasawuf  sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti figih dan tauhid. Pada masa Rasulullah saw, belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat Nabi SAW. Sesudah beliau wafat, pengikut yang tidak menjumpai beliau di sebut tabi’in (generasi setelah sahabat). 
Islam sebagai agama yang sangat menekankan keseimbangan sebagaimana memanifestasikan dirinya dalam kesatuan syariah (hukum tuhan) dan tasawuf (tariqah/ jalan spiritual). Pentingnya menjaga kesatuan syariah dan thariqah adalah karena dituntut oleh kenyataan bahwa segala sesuatu di alam mini mempunyai aspek lahiriyah dan aspek bathiniyah. 
Dengan demikian, maka tasawuf di tuntut untuk lebih bersifat pragmatik, empiric dan fungsional, artinya tasawuf di tuntut lebih menyentuh kebutuhan hidup rill manusia modern lebih mampu memecahkan problema yang bersifat pengalaman dan mempunyai peran rill dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian tasawuf akan menjadi tumpuhan harapan bagi seluruh lapisan masyarakat.

B.  Rumusan Masalah
a.       Pengertian Tasawuf.
b.      Lahirnya Tasawuf.
c.       Ajaran Tasawuf,
d.      Hubungan Syariat, Tarekat, dan Hakikat.


BAB II. PEMBAHASAN
TASAWUF DAN TAREKAT DALAM PERSPEKTIF ASWAJA

A.  Pengertian Tasawuf
Sebutan atau istilah Tasawuf tidak dikenal pada masa Nabi maupun khulafaur rasyidin, karena pada masa itu para pengikut Nabi SAW diberi panggilan sahabat. panggilan ini  adalah panggilan yang palimng berharga pada saat itu. Kemudian pada masa berikutnya, yaitu pada masa sahabat, orang-orang muslim yang tidak berjumpa dengan beliau disebut tabi’in, dan seterusnya disebut tabi’it tabi’in.
Tasawuf pertama kali dilontarkan oleh Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 H) mendifisinikan tasawuf ialah berpegang pada hal-hal yang hakiki dengan mengabaikan segala apa yang ada pada makhluk. Menurut Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H) tasawuf adalah sifat allah yang melekat pada hamba, yaitu dengan menguatnya kelemah lembutan dan terpusatnya kejernihan. Sementara al-Junaidi mendefisinikan tasawuf adalah keadaan dimana Allah memisahkan (mematikan) kamu dari dirimu dan memberimu kehidupan dalam kematian tersebut, yaitu eksistensi dirimu dengan tanpa jarak kepada Allah. [1]
Secara etimologis, para ahli berselisih pendapat tentang asal kata tasawuf. Sebagian menyatakan bahwa kata Tasawuf berasal dari Shuffah yang berarti emper masjid Nabawi yang didiami oleh sebagian sahabat Anshar. Ada pula yang mengatakan berasal dari Shaf yang berarti barisan. Seterusnya ada yang mengatkan berasal dari Shafa yang berarti bersih/jernih, dan masih ada lagi yang mengatakan berasal dari kata Shufanah yakni nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir. Terakhir ada yang mengatakan berasal dari bahasa Yunani Theosofi yang berarti Ilmu Ketuhanan. Namun yang terakhir ini penulis tidak setuju, penulis cenderung pada pendapat bahwa kata Tasawuf berasal dari Shuf (bulu domba), selanjutnya orang yang berpakaian bulu domba disebut Mutashawwif, perilakunya disebut tasawuf. [2]
Secara terminologis para ulama’ berbeda pendapat tentang arti asal-usul kata tasawuf, namun yang paling tepat adalah berasal dari kata shuf (bulu domba), yanag dimaksud bulu domba disini bukanlah dalam pengertian modern melainkan kain kasar yang dipakai oleh miskin di Timur Tengah pada zaman dahulu, orang-orang sufi ingin hidup sederhana dan menjauhi keduniaan, sehingga mereka hidup sebagai orang-oran miskin dengan memakai kain kasar tersebut. Dengan pengertian semacam ini, maka dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah bagian dari ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia di atas bumi ini, agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat.

B.  Lahirnya Tasawuf
Para sarjana, baik dari kalangan orientalis maupun dari kalangan islam sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi munculnya tasawuf dalam islam. Mengklasifikasikan pendapat para sarjana tentang faktor tasawuf ini menjadi empat aliran. Pertama dikatakan bahwa tasawuf berasal dari India melalui Persia. Kedua berasal dari asketisme Nasrani. Ketiga dari ajaran Islam sendiri. Keempat berasal dari sumber yang berbeda-beda kemudian menjelma menjadi satu konsep
Munculnya tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III hijriyah Abu Hasyim al-Kufy (w 250 H) dengan meletakkan al-sufi di belakang namanya, sebagaimana dikatakan oleh Nicholson bahwa sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah ada ahli yang mendahuluinya, akan tetapi dia adalah yang pertama kali diberi nama al-sufi. [3]
Tasawuf islam melewati beberapa fase, pertama tampil dalam bentuk ibadah dan zuhud. Kaum tasawuf islam membutukan waktu kira-kira 2 abad dalam kondisi demikian, kaum zuhud generasi pertama amat banyak diantaranya al-Hasan, al-Basri (110 H – 728 M) dll. Dalam rangka beribadah mereka mencari tempat yang terisolir dari manusia dengan seperti ini, tasawuf nyaris tidak keluar dari bentuk tingkah laku. Pada fase berikutnya kaum sufi mulai melakukan kajian teoritis, untuk itu pertama-tama mereka berorientasi pada jiwa untuk disingkapkan rahasia-rahasianya, dijelaskan segala kondisi dan makomny sebagai bukti mereka membicarakan tentang keasyikan dan kerinduan, takut dan harapan, cinta dan emosi, tiada dan ada, fana’ dan kekal, mereka mencari cinta illhi dimana saja. Merekah memberikan pemecahan terhadap banyak masalah, buah kerja ini Nampak di tangan. [4]
Dengan demikian tasawuf lahir karena didorong oleh ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, Al-Qur’an dan al-Sunnah, yakni kedua sumber tersebut mendorong agar umatnya beribadah, berperilaku baik, shalat tahajjud (al-Muzammil, ayat 7) berpuasa dan sebagainya, yang semua itu merupakan sikap tasawuf.  

C.  Ajaran Tasawuf
Ada tiga permasalahan besar yang dibicarakan oleh semua agama di dunia ini. Pertama tentang Tuhan, kedua tentang manusia, dan ketiga tentang dunia, Masing-masing agama mempunyai konsep atau ajaran tentang ketiga hal tersebut. Sementara Islam, dan lebih spesifik lagi tasawuf, mempunyai konsep tersendiri tentang tiga hal tersebut. [5]
a.    Konsep Ketuhana dalam Tasawuf
Tasawuf sebagaimana telah dipaparkan di muka adalah ilmu yang membahas cara pendekatan diri seseorang kepada Tuhan melalui pencucian ruh. Oeh karenanya tema ketuhanan hampir bisa dipastikan merupakan tema sentral dalam ilmu tasawuf. Yakni mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihatnya dengan mata hati, bahkan ruhnya dapat bersatu dengan Tuhan.
Filsafat yang menjadi dasar pendekatan didi kepada Tuhan dalam ilmu tasawuf, menurut Harun Nasution (dalam Budhy Munawar-Rahman, (ED) pertama, Tuhan bersifat ruhani, maka bagian yang mendekatkan diri kepada tuhan adalah ruh, bukan jasadnya. Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatinya adalah ruh yang suci. Dalam ajaran Islam Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia dijelaskan oleh al-Qur’an sendiri, “jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku sangat dekat dan akan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil.” (QS. al-Baqarah: 186)
b.    Konsep Manusia dalam Tasawuf
Mengenai manusi telah banyak analisa dan pemahaman tentang siapa sebenarnya dia maupun dari mana asalnya. Konsep kejadian manusia dalam tasawuf hampir sama dengan konsep al-Qur’an, menurut al-Hallaj bahwa manusia itu diciptakan dari dua unsur, yakni unsur  jasmaniah dan unsur rohaniah. Unsur jasmniah terdiri dari materi, sedang unsur rohani dari Tuhan. Karena itulah manusia mempunyai sifat kemanusiaan (nasut), dan sifat ketuhanan (lahut), dasar al-Hallaj mengatakan demikian ialah al-Qur’an, surat al-Baqarah: 34. Karena itu persatuan antara Tuhan dengan manusia dalam bentuk hulul adalah sangat dimungkinkan dengan syarat apabila manusia melepaskan keterikatannya dengan materi.
Pernyataan al-Hallaj ini mengundang kontroversi, menurut al-Ghazali pembentukan merupakan proses yang timbul dalam materi yang membuatnya cocok untuk menerima ruh. Materi itu adalah tanah liat Adam yang merupakan cikal bakal bagi keturunannya yang selanjutnya, melalui beberapa proses, akhirnya menjadi manusia, ketika bertemu unsur materi dengan ruh. [6]
Namun pernyataan al-Hallaj itu dapat dikembalikan kepada pernyataan al-Hallaj:"Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu, Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakan antara kami” (Abd al-Qadir Mahmud, 1967; Harun Nasution, 1978).
Menurut at-Taftazani (1967), teori Hulul al-Hallaj ini bercirikan figuratif, majazi, dan bukan hakiki. Hal ini sama dengan ungkapan al-Sulami bahwa kemanusiaan dan ketuhanan itu terpisah. Penciptaan manusia atas copy-Nya itu merupakan wujud atau tempat tajalli-Nya, bukan dalam arti bertemunya antara hakikat kemanusiaan dengan Dzat Tuhan secara hakiki.
Menurut Shal al- Tastari bahwa menurut pandangan sufi, komposisi manusia yang paling sempurna memiliki tiga unsur yaitu ruh, jiwa, dan badan dan masing-masing unsur mempunyai sifat yang langgeng didalamnya. Sifat ruh adalah kecakapan aqliyah, sifat jiwa adalah hawa nafsu, dan sifat badan ialah pengindraan. Manusia adalah suatu tipe alam semesta, alam semesta adalah nama dua alam, dan dalam diri manusia ada tanda dari keduanya, karena ia terdiri dari lender, darah, empedu, dan kemurungan hati, yang mana empat suasana jiwa berkaitan dengan empat unsur dunia ini yakni air, tanah, udara, dan api (al-hujwari, 1980).
Dalam diri manusia terjadi tarik menarik antara unsur yang mengajak kea rah positif, yaitu roh yang mempunyai sikap rasional, dan unsur lain berupa nafs (jiwa rendah) yang cenderung ke hal-hal yang bersifat negatif.  Posisi manusia akan ditentukan unsur mana yang menang dalam percaturan setiap harinya. Jika sifat ruhnya yang menang, maka dia lebih menyerupai malaikat, namun apabila yang dominan itu nafsunya maka akan lebih menyerupai binatang. Dimensi rohani manusia mempunyai empat kekuatan yakni qalb, ruh, nafsdan akal, keempat unsur ini ditinjau oleh al-Ghazali.
Rahani tersebut dilengkapi dengan beberapa alat kelengkapan lahir dan batin. Yang lahir adalah panca indra, yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi rohani, yakni beribadah kepada Allah SWT. Sifatnya taat terhadap setiap yang dikehendaki ruhani. Kelengkapan batin ada yang bersifat pembangkit dan pendorong (syawat dan marah), penggerak anggota badan, serta mengenal dan mengetahui terhadap segala sesuatu.
c.    Pandangan tentang Dunia
Pada setiap agama pasti ada ajarn tentang dunia, yakni bagaimana agama tertentu menilai dunia ini, masing-masing agama mempunyai penilaian berbeda-beda. Dalam agama Wedanto, Budhisme, Jainisme menganggap bahwa ala ini adalah tidak nyata/ sebuah permainan, dalam paham Gnotisme, Manichaenisme dunia bagaikan penjara yang dikuasai oleh kejahatan. Bagi bangsa Yunani dunia sebagai hasil karya seni. Pandangan umum agama Islam dan Yahudi  ialah fenomena rencana Tuhan yang indah dan sebagai tempat belajar, tempat latihan dan untuk ibadah.
Khusus dalam agama Islam yang disebut al- dunya ialah segala sesuatu yang ada selain Allah SWT. Dan tasawuf sebagai bagian dari aspek ajaran Islam memandang dunia ini sebagai hijab (penghalang) sampainya seorang hamba kepada Tuhannya. Untuk itu dia harus menghindari dunia, yang disebut zuhud (perpaling dari Sesutu yang rendah kepada sesuatu yang baik).

D.  Hubungan Syariat, Tarikat dan Hakikat
jalan seorang Muslim dalam beribadah menempuh tiga jalan sekaligus, ketigahnya adalah syariat, terikat dan hakikat. Ketiganya berbeda tapi tidak saling menafikan. Ketiganya anak tangga yang harus dilalui tangga syariat harus dilalui dan mengantarkan kepada tangga tarikat, dan dari tangga tarikat harus menaiki tangga hakikat. Ketika telah sampai pada tangga hakikat tetap tidak melupakan dua anak tangga di bawahnya. Diriwayatkan Haritsah meminta Nabi untuk mendoakan dirinya agar mati syahid. Dan perjalanan hidupnya memang membawahnya untuk syahid. Sejak itulah Rasullullah menggunakan istilah syariat, tarekat, hakikat, yakni keimanan Haritsah terhadap surga dan neraka adalah syariat, zuhud dan shalat malamnya adalah tarikat, sedangkan kesaksiannya sehingga dapat menyaksikan  para penghuni surga dan neraka adalah hakikat. [7]
Syariat adalah tahap pertama, tarekat adalah yang kedua, sedangkan hakikat adalah puncaknya. Syariat adalah menyembah Allah, tarekat adalah menghadirkannya dan hakikat menyaksikannya. Dalam sebuah riwayat, Nabi Saw juga bersabda,”syariat adalah pembicaraanku, tarekat adalah perbuatanku, hakikat adalah keadaan ruhaniku”. Jalaluddin rahmat menyimpulkan syariat adalah kita menjalankan agama dengan perbuatan kita, tarikat    adalah kita menjalankan agama sebagai sifat dan keadaan kita, hakikat adalah kita menjalankan agama secara benar dan dengan kesaksian.


BAB III. KESIMPULAN
Tasawuf merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam, yang lahir di kemudihan hari melalui proses yang panjang dengan dinamikanya sendiri, kelahirannya sebagai perwujudan dari pemahaman al-Qur’an dan al-Hadist. Jalan yang ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai ke tingkat dapat melihat tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya bersatu dengan Tuhan panjang dan penuh duri, karena itu hanya sedikit orang yang bisa sampai ke puncak tujuan tasawuf, jalan inilah yang dalam istilah tasawuf disebut thariqah (tarekat).
Syariat, tarekat dan hakikat itu merupakan satu kesatuan, semua ajaran islam meliputi ketiga ketiga hal ini, jika syariat diibaratkan dengan batok kelapa, maka tarekat adalah dagingnya, sedangkan hakikat adalah air kelapanya. Sebagaimana batok berfungsi melindungi daging kelapa, maka syariat juga melindungi tarekat. Dan sebagaimana daging kelapa melindungi air kelapa agar tetap bersih, bening dan sehat, maka tarikat juga melindungi hakikat. Tanpa syariat tarekat takkan pernah ada, rusak atau palsu, begitu juga tanpa tarikat apa yang dikira hakikat itu mungkin hanya halusinasi yang biasa diderita oleh orang-orang gila.   





[1] Drs. Nuril Huda. Aswaja Menjawab Persoalan Tradisi dan Kekinian. 2007. hal 50  
[2] Saifuddin Bahri. Metodologi Studi Islam. 2010. hal 93
[3] Amin Syukur. Tasawuf Menggugat. 1999. hal 19
[4] Ibrahim Madkour. Aliran dan Teori Filsafat Islam.1995. hal 101 
[5] Amin Syukur. Tasawuf  Menggugat. 1999. hal 44
[6] Amin Syukur. Tasawuf menggugat. 1999. hal 59
[7] Haidar Amuli. Ibadah Sufistik. 2005

No comments:

Post a Comment